Wednesday, October 01, 2014

Titah Mengajar Sambil Hindari Senjata

Papua Satu. Bagi Titah Putri Firdausi, mengajar di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) bukan hanya mendidik muridnya, tetapi juga menghindari kontak senjata. Pasalnya, dia ditempatkan di daerah konflik, Kabupaten Jaya Wijaya, Papua. 

Wilayah ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Lanny Jaya. Warga di Lanny Jaya kerap terlibat konflik dan adu senjata yang cukup intens. 

Selama setahun, Titah menjadi guru di SMPN 2 Asologaima. Setiap hari, dia datang lebih awal dari anak didiknya. Jam belajar baru akan dimulai jika siswa yang tinggal di balik bukit sudah berkumpul di sekolah. 

Peserta program SM3T dari Universitas Mulawarman ini menetap di sekolah. Sedangkan kebanyakan siswanya tinggal di balik bukit yang jaraknya berkilometer. Mereka tidak mengenal jam. Sebagai penanda waktu, anak-anak ini menggunakan matahari. 

"Anak-anak ini baru akan berangkat ke sekolah apabila matahari sudah muncul. Kalau kebetulan pagi itu mendung, mereka baru ke sekolah pukul sembilan atau pukul sepuluh. Jadi, kelas dimulai dengan mengikuti jam anak-anak," kata Titah, seperti dilansir laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kamis (25/9/2014). 

SMPN 2 Asologaima memang dikelilingi perbukitan. Tipografi di wilayah yang masuk Kota Wamena ini memang perbukitan dengan suhu antara 10-12 derajat celcius dan disertai angin cukup kencang. Ada 300 anak yang tercatat sebagai siswa di sekolah ini. Namun, hanya sekira 20 anak yang aktif belajar di setiap kelas. Menurut Titah, jumlah ini sudah lumayan banyak mengingat hanya ada satu rombongan belajar di tiap angkatan dan satu kelas percobaan. 

"Kelas percobaan merupakan kelas khusus untuk anak-anak yang belum bisa membaca," imbuh Titah. 

Alumnus Universitas Negeri Malang (UM) ini memaparkan, meski sudah duduk di bangku SMP, masih banyak siswa belum bisa membaca, menulis dan berhitung (calistung). Inilah tugas pertama para guru SM3T di sekolah tersebut. Jika anak didik di kelas percobaan sudah menunjukkan kemajuan, barulah kegiatan belajar mengajar di kelas reguler bisa digelar. 

Titah menilai, mengajar di zona merah berarti mendidik para orangtua untuk mau mendorong anak mereka pergi ke sekolah, tidak melulu terlibat dalam konflik. Untuk mendekati masyarakat, Titah tidak segan turun ke sawah dan menyapa mereka. Bahkan, dia belajar dialek setempat agar lebih mudah diterima. 

"Kesadaran mereka tentang pendidikan masih kurang sekali. Kehidupan primitif di sana lebih mengutamakan berkebun daripada sekolah," paparnya. 

Seperti guru pada umumnya, kelulusan anak didik menjadi momen membahagiakan bagi Titah. Banyak di antara murid TItah menangis terharu di pelukannya begitu mengetahui mereka berhasil lulus ujian. Menurut Titah, tangisan tersebut adalah ungkapan kebahagiaan dan rasa terima kasih kepada gurunya. 

"Bukan dengan kata, melainkan dengan tangis dan pelukan, dan itu benar-benar mengharukan," tuturnya. [okezone.com]

0 comments:

Post a Comment