Wednesday, March 19, 2014

Tiga Organisasi Separatis ‘Buka-bukaan’ di Genewa


Dari kiri: Louis Nousy, Willem Sopacua, Mr. Antonio Stango, Yusuf Daud dan Martha Meijer (unpo.org)
Papua_Satu. Pada tanggal 14 Maret 2014 lalu di Geneva, Swiss berlangsung kegiatan UNPO (Unrepresented Nations and Peoples Organization) yang menggelar side event tentang “Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia” dengan menggundang beberapa perwakilan dari organisasi separatis seperti ASNLF, RMS dan Republik Papua Barat.

Side event tersebut dimoderatori oleh Mr. Antonio Stango dari Nonviolent Radical Party yang dimulai dengan gambaran situasi HAM di Indonesia oleh Mrs. Martha Meijer yang juga merupakan penasihat HAM independen berbasis di Belanda yang berfokus pada Indonesia.

Selanjutnya para perwakilan dari organisasi separatis di Indonesia memberikan presentasi atas pelanggaran HAM mulai dari Aceh yang diwakili oleh Yusuf Daud, Maluku Selatan oleh Willem Sopacua dan Papua Barat oleh Louis Nousy. Semua argumentasi mereka memiliki kesamaan bahwa Indonesia telah melakukan pelanggaran HAM berat terhadap kelompok separatis yang notabene adalah juga penduduk asli negara itu.

Acara pun ditutup oleh pidato Mr. Antonio Stango yang menekankan pentingnya menemukan resolusi damai untuk konflik yang sedang berlangsung.

Kritik terhadap UNPO

Valery Tishkov, Direktur Institute of Ethnology and Anthropology di Russian Academy of Sciences dan bekas Menteri Rusia untuk kebangsaan, mengkritik UNPO dengan menyatakan:

“Aktivitas UNPO di Den Haag mulai menyimpang ketika bendera rejim dan organisasi separatis yang muncul setelah bubarnya Uni Soviet dan Yugoslavia dikibarkan di atas markasnya. Dalam hubungannya dengan persaingan geopolitik dan eforia Barat tentang membangun kembali dunia paska komunis, ‘ketidak terwakilan’ dapat dilihat sebagai pelanggaran terhadap keteraturan daripada sebagai suatu peningkatan, sebagai suatu proses keluar dari sistem daripada memperoleh suara seseorang di dalamnya.“

Sepertinya kritik tersebut sangatlah mengena, melihat situasi yang ada saat ini dalam UNPO. Bendera-bendera separatis berkibar di sana dengan bebasnya tanpa memperdulikan harkat dan martabat suatu negara yang justru merasa terinjak-injak hak asasinya sebagai bangsa yang berdaulat.

Bendera-bendera separatis dikibarkan sebelum side event dimulai (unpo.org)
Wajarlah argumentasi para wakil dari organisasi separatis tersebut seragam, karena bagi mereka HAM dapat dijadikan wahana untuk merealisasikan mimpinya yakni mendirikan negara dalam negara. Apalagi mendapat dukungan pula dari organisasi internasional semacam UNPO, walau ‘unrepresented’ tapi bagi mereka (separatis) adalah suatu kemajuan diplomasi yang luar biasa dalam kancah dunia internasional.

Pidato Mr. Antonio Stango yang menekankan pentingnya menemukan resolusi damai untuk konflik yang sedang berlangsung, adalah sesuatu yang absurd karena faktanya konflik itu diciptakan oleh mereka (separatis) itu sendiri. Negara yang berdaulat di manapun pastinya akan memerangi organisasi separatis yang merongrong kedaulatannya, karena hal itu merupakan tindakan makar terhadap negara dan bukan merupakan pelanggaran HAM. [Kompasiana]

Monday, March 17, 2014

Lima Anggota Kelompok Sipil Bersenjata Papua Ditangkap, Satu Tewas

Papua Satu - Patroli gabungan TNI/Polri berhasil menangkap lima orang Kelompok Sipil Bersenjata (KSB) di Kota Mulia, Kabupaten Puncak Jaya, Papua pada Sabtu (15/3) pekan kemarin.

"TNI/Polri berhasil menangkap lima KSB di Kota Mulia, Kabupaten Puncak Jaya pada Sabtu pekan kemarin," kata Kapolda Papua Irjen Pol Tito Karnavian kepada wartawan di Jayapura, Senin malam.

Ia mengatakan satu dari lima orang tersebut, meninggal dunia karena kena tembak dan kehabisan darah saat dievakuasi ke RS Mulia. Sedangkan empat orang lagi sudah di Kota Jayapura.

"Dimana dua diantara empat itu, sudah dibawa ke RS Byangkara akibat terkena tembakan dan dua lainnya di Mapolda Papua," katanya.

Terkait kronologis peristiwa tersebut, jenderal bintang dua itu mengungkapkan bahwa penangkapan bermula ketika TNI/Polri berpatroli gabungan di Kota Mulia, Puncak Jaya.

Di tengah perjalanan, TNI/Polri bertemu dengan sekelompok orang yang melepaskan tembakan ke arah rombongan.

Karena ditembaki, aparat gabungan membalas tembakan dan melukai tiga orang di antaranya. "Salah satunya kena tembak di bagian kaki namun sayang meninggal dunia akibat kehabisan darah saat akan dievakuasi menuju RS Mulia, Puncak Jaya," katanya.

Aparat gabungan juga berhasil menemukan 29 butir peluru dari tangan orang-orang itu. "Saat ini, satu orang yang meninggal dunia telah diserahkan kepada pihak keluarga untuk dimakamkan," katanya.

Kapolda Papua menambahkan bahwa dua orang yang dirawat di RS Bhayangkara diduga terlibat dalam kasus penyerangan Polsek Pirime, Kabupaten Lanny Jaya. Sedangkan tiga orang lagi terlibat dalam penyerangan di Polsek Kulirik, Kabupaten Puncak Jaya. (ANTARA News)

Wednesday, March 12, 2014

Lambert Pekikir Terima Kunjungan Danrem 172/PWY Jayapura


Komandan Korem 172/Praja Wira Yakti Kolonel Inf Herman Asaribab beserta jajarannya bertemu dengan Koordinator Umum TPN/OPM Wilayah Keerom, Lambert Pekikir bersama belasan anak buahnya, di Kampung Workwana, Distrik Arso Kota, Kabupaten Keerom, Rabu (12/3) kemarin. Pertemuan itu berlangsung sekitar 1 jam lebih dari pukul 10.00 WIT.  Demikian, press release Korem 172/Praja Wira Yakti yang diterima Redaksi Bintang Papua, Rabu, (12/3/2014).
Dalam pertemuan itu, Danrem 172/PWY menjelaskan bahwa pertemuannya dengan Lambert Pekikir sebagai bentuk silahturahmi sebagai sesama putra Papua guna menjalin persamaan dalam perbedaan. Hubungan komunikasi dengan Lambert Pekikir sebenarnya sudah berlangsung sejak Agustus 2013 lalu, hanya saja karena tingkat kesibukan maka belum sempat berkunjung ke rumah Lambert Pekikir.
Meski adanya perbedanaan pandangan dengan Lambert Pekikir, namun sama-sama mempunyai komitmen yang kuat dalam menyelesaikan suatu masalah, yaitu harus dengan cara-cara yang elegan (solusi yang terbaik), karena yang namanya kekerasan tidak menyelesaikan sebuah masalah.
“Nah, persamaan inilah yang paling penting dan perlu terus dibina, karena dalam situasi yang damai semua dapat mewujudkan pembangunan demi kesejahteraan rakyat, khususnya di wilayah Keerom,” kata Danrem.
Sesuai kebijakan dan arahan Pangdam XVII/Cenderawasih, lanjut Danrem, bagi mereka yang berbeda pandangan bukan berarti musuh.  Sebab itu, Danrem 172/PWY mengimbau kepada saudara-saudaranya sesama orang Papua yang masih memiliki pandangan yang berseberangan, agar bisa bersatu dan kembali ke kampungnya masing-masing, bersama membangun daerah, dengan tujuan untuk kesejahteraan rakyat Papua.
“Karena, Papua masih membutuhkan putra-putrinya untuk membangun negeri, membangun SDM yang baik dan handal, yang bisa bersaing dengan daerah lain di Indonesia. Papua membutuhkan kita  dan Papua menanti karya nyata dari kita untuk ikut membangun Papua menuju kesejahteraan rakyat. Karena kalau bukan kita siapa lagi dan kalau bukan sekarang kapan lagi,” imbau Danrem.
Sementara itu, Lambert Pekirkir  memberikan apresiasi kepada kunjungan Danrem 172/PWY dan jajarannya ke Kampung Workwana guna bertemu dengan dirinya dan anak buahnya.  Lambert menyampaikan terima kasih kepada Pangdam dan Danrem yang bisa menanggapi permintaan dirinya. Lambert butuh waktu dan proses untuk memberikan pemahaman kepada jaringannya di seluruh Papua terkait kedamaian yang sedang diusung. Kalau untuk wilayah Keerom, Lambert menjamin aman, tidak ada kekerasan. Tetapi untuk daerah lainnya, masih butuh pemahaman yang baik.
Slogan Keerom Damai
Masih menurut Lambert, pendekatan yang dilakukan oleh Danrem 172/PWY merupakan pendekatan kekeluargaan yang tidak terikat dengan institusi kerjanya sebagai aparat pemerintah dan negara.
“Terkait slogan Keerom Damai yang sedang diupayakan, saya usulkan agar diundurkan karena menyangkut pokok pikiran yang harus kita bangun ke semua pihak agar pemahaman tercipta dan menjadi pedoman yang bagus serta pegangan yang baik bagi semua pihak. Dan hendaknya dilaksanakan setelah Pemilu ini dengan melakukan sosialisasi,” pinta Lambert.
Soal ‘turun gunung’ (kembali ke pangkuan NKRI,red), Lambert Pekikir belum memberikan jawaban pasti. Tetapi Keerom damai, untuk semua dan Papua itu tergantung sosialisasi dan tergantung semua teman-teman sesama perjuangan Papua Merdeka menerima komitmen Keerom Damai, yang tentunya semua itu akan dituangkan dalam perjanjian-perjanjian tertentu.
“Tentunya semua bisa menerima terutama yang cinta damai, dan di Keerom, Pak Panglima juga telah memberikan jaminanan keamanana bagi semua pihak,” tegas Lambert. [bintangpapua.com]

Jamin Papua Makin Aman, Saatnya Genjot Pembangunan

Papua Satu. Tokoh masyarakat Papua, Franz Albert Joku menyampaikan pandangannya mengenai situasi terkini di tanah kelahirannya itu. Menurutnya, sekarang adalah masa yang paling tepat untuk mulai membangun provinsi paling timur di Indonesia itu.
Joku mengatakan, kondisi keamanan Papua saat ini sudah jauh lebih kondusif dibanding saat Orde Baru lalu. Karenanya, setiap program pembangunan yang dimiliki pemerintah seharusnya dapat berjalan dengan baik. “Papua aman, Papua tidak seperti di era presiden dahulu yang otoriter. Di tengah demokrasi sekarang ini, Papua relatif aman, silahkan lihat sendiri,” katanya di Jakarta, Selasa (11/3/2014).
Namun, lanjut mantan wartawan yang pernah jadi orang penting di pemerintahan Papua Nugini itu, situasi kondusif saja tidak cukup. Mantan pejuang OPM itu menegaskan, diperlukan rencana pembangunan yang matang dan tepat sasaran dari pemerintah. Untuk mewujudkan itu, pemerintah harus mampu menyerap aspirasi masyarakat Papua.
Kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan potensi masyarakat dan alam Papua juga penting untuk diutamakan. Contohnya, kebijakan soal ekonomi kreatif dan pariwisata.
“Laut dan alam di sini indah, tapi tidak ada kebijakan dan infrastruktur yang mendukung ini semua. Sepatutnya dibangun bandara berskala internasional di Papua agar memudahkan para pelancong berkunjung. Hal ini pasti akan meningkatkan perekonomian masyarakat, lihat saja Bali, padahal Papua lebih indah,” terangnya.
Dalam kesempatan yang sama, tokoh Papua lainnya, Nick Messet menambahkan, dengan kebijakan pembangunan tepat sasaran maka situasi kondusif di Papua pasti akan terus terpelihara. “Kami (Papua) tidak mau dikucilkan, kami juga tidak mau diperlakukan berlebihan, yang kami mau kebijakan dan pembanguna sesuai dengan aspirasi masyarakat Papua. Kami percaya masa depan kami yang termasuk wilayah NKRI akan cerah dan baik,” ujar Nick. [jpnn.com]

PM Vanuatu Manfaatkan Isu Papua Untuk Kepentingan Politik Partainya

Papua Satu. Selama enam tahun terakhir (sejak 2008 hingga kini), negara Vanuatu selalu dilanda gejolak politik akibat persaingan para elit partai memperebutkan kursi Perdana Menteri. Gerakan mosi tidak percaya seakan menjadi agenda rutin tiap tahun di gedung parlemen. Maka tak heran kalau negeri itu sudah sembilan kali berganti kabinet dalam enam tahun terakhir.
Agenda yang sama juga terjadi akhir Pebruari lalu. Perdana Menteri (PM) Vanuatu,Moana Carcasses Kalosil digoyang gerakan mosi tidak percaya dari mayoritas anggota parlemen. Gejolak itu khabarnya sudah reda, setelah Carcasses berhasil membalikan komposisi parlemen dari semula 27 : 25 (oposisi 27 anggota : koalisi pemerintah 25 anggota) menjadi 24 : 28. Caranya, Carcasses “menyuap” tiga kursi menteri kepada kelompok oposisi yang kemudian berbalik mendukungnya. Carcasses pun lolos dari lubang jarum.
Isu Papua merdeka
Mengapa isu politik di Vanuatu itu penting kita ketahui? Hal ini erat kaitannya dengan isu Papua merdeka dimana Moana Carcasses Kalosil boleh dibilang menjadi salah satu aktornya. Carcasses adalah satu-satunya pejabat resmi pemerintah yang secara terang-terangan men-suport kelompok yang menamakan dirinya koalisi pembebesan nasional Papua Barat (West Papua National Coalition Liberation / WPNCL). Organisasi ini berisikan para petualangan politik Papua merdeka yang tinggal di luar negeri. Seperti Ketua WPNCL Richar H Jouweni (orang Papua yang tinggal Australia), wakil ketuaJohn Otto Ondowame dan beberapa pengurus WPNCL lainnya tinggal di Vanuatu. Penasehat politik WPNCL adalah Barak T Sope, mantan PM Vanuatu (1999-2001).
Bentuk suport Carcasses antara lain memperjuangkan WPNCL menjadi anggota  Melanesian Spearhead Group (MSG), sebuah organisasi kerjasama ekonomi negara-negara Melanesia di Pasifik Selatan beranggotakan lima negara (Vanuatu, PNG, Fiji, Solomon Island, dan Kaledonia Baru). Indonesia masih berstatus observer. Dalam ambisi Carcasses, posisi Indonesia inilah yang mau digantikan oleh WPNCL, padahal klaim WPNCL bahwa ia mewakili kepentingan orang Papuan masih ditentang oleh berbagai kelompok di Papua. Lantas, atas dasar apa mereka menjadi anggota MSG?
Untunglah empat negara Anggota MSG tidak sependapat dengan Carcasses, sehingga keinginan WPNCL untuk menjadi anggota MSG kian pupus. Ini tidak lepas dari kerja keras Pemerintah Indonesia yang terus berupaya meyakinkan anggota MSG tentang bahaya yang mengancam kedaulatan Indonesia manakala WPNCL diakomodir menjadi anggota MSG. Maka dalam kunjungan delegasi MSG ke Jakarta pada Januari lalu (kecuali delegasi Vanuatu), mereka telah bersepakat mengakui Papua sebagai bagian dari wilayah kedaulatan RI.
Kendati demikian, Carcasses belum menyerah. Selasa (4/3/2014) Carcasses yang baru lolos dari ancaman kejatuhannya dari kursi perdana menter sudah berdiri tegak di mimbar PBB memberikan pidato pada Sidang Tahunan Dewan HAM PBB ke-25 di Jenewa, Swiss. Dari situs resmi United Nation, fokus dari pidato PM Vanuatu ini terdiri dari dua hal penting. Pertama, tentang masalah hak masyarakat adat di negaranya dan kedua berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia di Papua.
“Negara saya dalam forum ini hendak menggemakan apa yang menjadi keprihatinan atas situasi hak asasi manusia di Tanah Papua. Kami sangat prihatin tentang cara dan sikap komunitas internasional yang mengabaikan suara orang Papua, yang hak asasinya telah diinjak-injak dan secara keras ditekan sejak tahun 1969,” ujarnya.
Namun Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Melalui delegasinya yang dipimpin Dian Triansyah Djani (Wakil Tetap RI untuk PBB), Indonesia meminta PBB untuk tidakterkecoh oleh pernyataan semacam itu. Indoneisa akan terus melanjutkan agenda demokrasinya termasuk memajukan dan menghormati hak asasi manusia seluruh warganya.
“Kami terlalu paham atas dinamika politik dalam negeri Vanuatu yang memainkan peran dalam mengangkat apa yang disebut ‘masalah Papua’ di berbagai forum, khususnya PBB. Seperti jelas terungkap dalam pernyataan yang dibuat oleh Kantor Perdana Menteri Sato Kilman pada Mei 2012 dan diterbitkan oleh Vanuatu Daily Post pada 22 Mei 2012 yang antara lain menyatakan: di Vanuatu, masalah Papua telah dipolitisir dan digunakan oleh berbagai partai politik dan gerakan politik Vanuatu bukan untuk kepentingan orang Papua tetapi lebih untuk pemilu dan propaganda politik,” kata delegasi Indonesia.
Setidaknya, jawaban Indonesia itu akan membuat Carcasses yang sebelumnya tampil penuh semangat seakan disiram air dingin. Ia tahu, negerinya masih terus bergolak, dan kursi PM nya belum sepenuhnya aman dari incaran kelompok oposisi.
Maka pilihan Carcassespun tidak banyak. Mengamankan kursinya dari gerakan kelompok oposisi, atau mengurus seluruh tenaga dan pikirannya untuk mengurusi ambisi politik para petualangan Papua merdeka yang tergabung dalam WPNC?
Saya kira Moana Carcasses Kalosil  tentu tidak ingin dirinya jatuh dengan cara yang sama dengan pendahulunya Sato Kilman yang digulingkannya Maret 2013 lalu, juga melalui gerakan mosi tidak percaya kelompok oposisi. [***]

Monday, March 03, 2014

Tahun 1947, Merah Putih Telah Berkibar Di Tanah Papua

Tugu Silas Papare di Serui. Foto : beritadaerah.com
oleh : Kanis WK
Zona Damai: Papua telah terlahir sebagai wilayah NKRI. Fakta sejarah ini dapat ditelusuri dari sejumlah catatan sejarah maupun pelaku sejarah yang berjuang mempertahankan NKRI dari Tanah Papua. Mereka adalah saksi sejarah bahwa di masa lalu, nasionalisme orang Papua telah berkobar mengikuti jejak para pejuang kemerdekaan di wilayah Indonesia lainnya, menentang penjajah Belanda dari bumi Nusantara. Dengan modus yang kurang-lebih sama, para nasionalis asal Papua menggabungkan semangat perjuangan mereka untuk membebaskan Irian dari cengkeraman penjajah Belanda.
Nasionalisme itu terlahir di Kota NICA Hollandia (Sekarang Jayapura) di sebuah lembaga kursus kilat Pamong Praja yang didirikan Belanda tahun 1944 dengan nama PAPUA BESTUUR SCHOOL. Lembaga itu didirkan untuk mengisi kekosongan petugas pemerintahan Belanda di New Guinea (Papua) karena Belanda kekurangan banyak personil akibat invasi Jepang ke Indonesia tahun 1942-1945.
Lembaga itu mendidik sekitar 400-an pemuda dari berbagai suku dan daerah di Papua. Di antaranya adalah Silas Papare, Frans Kaisiepo, Albert Karubuy, Marthen Indy, Johans Ariks, Sugoro Atmoprasojo, Lodewijk, Barent Mandatjan, Samuel Damianus Kawab dan Joseph Djohari.
http://www.carikabar.com/inspirasi/157-tokoh/1182-frans-kaisiepo-nasionalis-dari-timur-indonesia
Kehadiran lembaga ini telah mewarnai kesadaran politik orang Papua. Dari lembaga itu mereka dengan mudah mengikuti semua perkembangan situasi politik yang terjadi di seluruh wilayah Nusantara. Frans Kaisiepo, Silas Papare dan para pendukungnya terinsipirasi untuk ikut berjuang membebaskan Tanah Papua dari penjajah Belanda sebagaimana terjadi di Jawa, Sumatera dan lainnya. Maka secara sembunyi-sembunyi, para peserta kursus itu sering mengadakan rapat secara yang pada intinya menentang pendudukan Belanda di Papua dan ingin bersatu dengan NKRI. Mereka merasa bebas mendiskusikan segala sesuatu yang menyangkut kepentingan masa depan daerah dan pandangan serta pilihan mereka.
Diskusi antara para buangan dan Silas Papare.
Ilustrasi :
http://www.flickr.com/photos/10324835@N06/4431037643
Mereka kemudian membentuk dewan perwakilan di bawah pimpinan Sugoro Admoprasojo dengan anggota, antara lain Frans Kaisiepo, Marthen Indey, dan Silas Papare, G Saweri, SD Kawab dan teman lainnya. Frans Kaisiepo tidak setuju dengan papan nama yang bertuliskan PAPUA BESTUUR SCHOOL. Ia memerintahkan Markus Kaisiepo, saudaranya, untuk menggantikan papan nama Papua Bestuurschool menjadi IRIAN Bestuurschool.
Mengibarkan Bendera Merah-Putih
Bermodalkan kesadaran politik dan sekumpulan pemuda-pemuda terpelajar, Silas Pepera dan kelompoknya pulang ke kampung halamannya di Serui. Tahun 1946, Silas mendirikan mendirikan PKII (Partai Kemerdekaan Indonesia Irian). Setahun kemudian, tepat pada 17 Agustus 1947 Silas Papare dan kelompoknya, antara lain Albert Karubuy, Marthen Indy, Johans Ariks, Lodewijk, Barent Mandatjan, Samuel Damianus Kawab, Joseph Djohari dan para pendukungnya melakukan upacara pengibaran bendera Merah Putih untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia. Silas memimpin upacara itu. Akibat dari tindakan itu seluruh peserta upacara harus meringkuk dalam tahanan polisi Belanda lebih dari tiga bulan.
Lagerberg (1979) mencatat bahwa PKII memperoleh dukungan dari berbagai kalangan di Irian Dukungan juga datang dari masyarakat Sorong, Manokwari dan Biak (de Bruijn, 1978).
Sebagai Ketua PKII, Silas Papare berpendirian bahwa Papua secara historis tidak terpisahkan dari Indonesia. Tanpa henti Silas memperjuangkan prinsip itu. Dia berpendapat bahwa sebelum proklamasi Indonesia, Papua adalah bagian dari Hindia Belanda. Namun setelah Proklamasi, Indonesia telah berjuang untuk Papua dan Papua berjuang bersama Indonesia.
http://bintangpapua.com/opini/25542-poros-jogja-papua-dalam-dialog-
Sementara itu, di Biak, Frans Kasiepo menggagas berdirinya Partai Indonesia Merdeka (PIM) tahun 1946. Ia menggalang kekuatan di Biak guna menentang kehadiran Belanda di sana. Frans terlibat dalam Konferensi Malino tahun 1946 yang membicarakan mengenai pembentukan Republik Indonesia Serikat sebagai wakil dari Papua. Ia juga menolak dengan tegas pengangkatan dirinya menjadi anggota delegasi Belanda pada Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda. Sikap keras Frans membuat Belanda kemudian mengasingkannya ke tempat terpencil.
Silas Papare dan Frans Kaisiepo adalah perwakilan nasionalis yang sadar akan pentingnya kemerdekaan Indonesia bagi Papua. Kedua tokoh dan para pendukungnya berharap bersama Indonesia Papua akan terbebaskan dari kolonialisme dan imperialisme. Dengan menerima fakta bahwa Indonesia terdiri atas berbagai suku dan agama, Silas dan Frans telah mengajarkan nilai-nilai bhineka tunggal ika bagi orang Papua, tidak saja demi mengusir bangsa penjajah dari Tanah Papua, tetapi juga untuk membangun Papua yang semakin maju dan sejahtera.
Nasionalisme Indonesia telah mengubah cara berpikir kaum intelektual Papua di jaman itu. Sebagai satu bangsa, masyarakat Indonesia, termasuk Papua, tidak hanya mempunyai kesempatan yang sama untuk membangun Papua. Mereka juga berkesempatan menduduki posisi pemerintahan yang lebih tinggi, yang tidak didapatkan selama pemerintahan Belanda. [Kompasiana]

Sketsa: “Konspirasi Teroris” Papua Raib 17 Orang














BUTIRAN hujan menhujam turun dari ketinggian pohon Lingua, berlingkaran batang empat rentangan tangan orang dewasa. Hutan lebat berkehijauan bergradasi, khasMamberamo Raya, Papua. Titik hujan jatuh ke rawa bak petikan dawai harpa ditingkahi dingin hawa, liris tangis, bersahutan suara perempuan, entah tawa apakah gila.

Di balik pohon tinggi itu, beberapa orang pria berseragam bak tentara memasang mata tajam. Pandangan mereka tertuju ke sebuah gua buatan berpagar bambu berpenutup berpelepah rumbia. Di dalam “penjara” itu ada 9 pria. Delapan wanita lainditempatkan di bedeng bak kandang babi hutan. Di sekitar para perempuan itu dipasang beberapa ranjau bambu runcing.


Ketujuh belas orang tadi dinyatakan hilang pada 3 Maret 2009, dalam perjalanan menggunakan speed boat dari Serui ke Mamberamo. Namun kapal itu tak sampai tujuan, raib ditelan bumi berikut 17 penumpangnya. 

Anehnya, ketika 9 orang, salah satunya perempuan asal Menado, karyawan PT Kodeco, perusahaan pemegang HPH, di kemudian hari juga lenyap pada Juni 2012,mereka justru bisa berkumpul dengan ke-17 orang dinyatakan hilang pada 3 Maret 2009 itu. Artinya peristiwa sempat ramai 2009 itu, lalu senyap, kehidupan mereka tersandera.

Pertanyaan siapa dalang semua ini?


Adalah satu dari sembilan orang karyawan Kodeco bernama DA, usia sekitar 27 tahun, kulit sawo matang, rambut keriting tipis, asli Serui, Papua. Ia sempat tiga bulan disekap. DA bersama RD lalu kabur, berlari dan berlari selama seminggu, dan kini mereka bisa kembali ke Jayapura. DA kepada Tim Pencari Fakta Independen (TPFI)saya verifikasi di Jayapura, menyaksikan bagaimana kejadian keji terjadi.


“Para wanita bak dikandang babi itu, diperkosa banyak pria dalam sehari.”


“Salah seorang ibu, yang baru saja melahirkan, anaknya diambil, seketika lalu disetubuhi lagi.”


“Bergantian.”


“Ibu berkulit putih berparas cantik itu, kemudian hari sebelum saya kabur, menyayat nadinya dengan sembilu-bambu. Ia meninggal,” tutur DA di Jayapura ke Tim TPFI.


“Dia punya mayat ditutupi dengan daun-daun kemudian dibuang begitu saja di rawa-rawa”


Dalam kondisi jiwa terguncang, ketakutan, DA di rumahnya kini setiap orang masuk selalu terperanjat melompat. Ia bisa kabur dari rombongan itu ketika diminta mencari kayu bakar. Momen itu digunakan lari dan lari, termasuk mencuri kabur perahu orang ditemuinya di rawa. Bak adegan film jungle survival, DA mengaku demi menyelamatkan diri mengupas kelapa dengan mulut, menggigit bak beruk, termasuk mengunyahkan untuk kawan sepelariannya RD lemas dan kecapean.


Kasus raib 17 orang itu dalam verifikasi saya dan TPFI, berlatar penggunaan APBD, Kabupaten Mamberamo Raya, terindikasi korupsi lebih Rp 40 miliar di saat pejabat Bupati kala itu Demianus Kyeuw Kyeuw, kala itu care taker Bupati, dan Bendaharawan, Thomas A.E. Ondy. Sesuai dengan surat yang dikirim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Kejaksaan Tinggi Papua, 4 Oktober 2013, tentang penyidikan bantuan dana pemberdayaan 58 kampung pada delapan distrik, APBD 2008.


Di dalam speedboat ditumpangi oleh 17 orang itu, tersebutlah salah satunya Ishak Petrus Muabuay. Ia adalah Kabag Umum Pemkab Mamberamo Raya. Ishak pernah mengkritisi penggunaan anggaran yang dilakukan oleh Demianus Kyeuw Kyeuw. Ishak juga pernah memukul Thomas Ondy karena menelantarkan pembayaran gaji banyak karyawan Pemda. Menurut keterangan kakak kandung Ishak, Regina Muabuay dan adiknya Hendri Muabuay, bahwa setelah Thomas Ondy dipukul lalu mengancam dan bilang, “Nanti kau lihat saja.”


Ishak Petrus Muabuay semula ingin digandeng oleh Demianus Kyeuw Kyeuw, sebagai calon wakilnya di Pilkada 2010. Namun Ishak mengatakan bersedia asal semua indikasi penggelapan uang APBD diaudit. Dan Ishak juga berencana melaporkan ke KPK. Di lain momen gelagat Ishak tercium oleh Demianus Kyeuw Kyeuw, bahwa Kabag Umum itu juga akan mencalonkan diri sebagai Bupati Mamberamo Raya.


Selain urusan di atas, di duga dalam speedboat itu ada 3 pengusaha, dalam hal ini Rahmania, di antaranya, salah satu wanita pengusaha Anggota IWAPI, yang berparas cantik, Ia saya duga sosok yang diperkosa beramai-ramai itu, membawa uang lebih dari Rp 1 miliar untuk kepentingan pembayaran karyawan proyeknya di Mamberamo kala itu. Rahmania anggota Bhayangkari, suaminya Kapten Suyadi, kini masih menetap di Serui. Dugaan soal membawa uang banyak itu dibenarkan oleh saksi mata saya temui di Jayapura. Pada 2009 itu belum ada bank di Mamberamo. Semua serba cash. Pada 2010 baru ada ada Bank Daerah Papua di Mamberamo.


Ketika kasus hilangnya 17 orang di speedboat itu terungkap, Pemda Mamberamo Raya seakan diam. Belum ada upaya intensif pencarian. Justeru upaya keras dominan dilakukan oleh keluarga, terutama pengusaha keturunan, Ferdianto Sunur, bergerak di bidang kontsruksi. Keluarga mereka pernah mencari sampai menyewa pesawat segala.


Adapun ke- 17 orang hilang itu lengkapnya; 1. Ishak Petrus Muabuay, 2. Rahmania, 3. Atika Saraswati, pengusaha, 4. Ferdiyanto Sunur, pengusaha PT, Karsa Tama, 5. Juliana Muay, pencari kerja, 6. Jack Karubaba, Pencari kerja, 7. Guntur Torobi, pencari kerja, 8. WaryonoWarobi, pencari kerja, 9. Dhopi Reba, pencari kerja, 10. Natalia Rumbiak, pencari kerja, 11. Erna Samori, pencari kerja, 12. Imroatul Khasanah, pencari kerja, 13. Gerson Wanggai, juru mudi speedboat, 14. Lambert wanggai, crew, 15. Maikel Kawari, crew, 16. Tonny Fonatab, crew dan 17. Brigadir Ayub Karubaba.


Pada 2011, Widiyanto P, Direktur Waspadnas Ditjen Kesbangpol Kemendagri, kepada TPFI mengatakan sudah melakukan upaya pencarian tentang masalah penyanderaan itu. Dan kala itu diperoleh keterangan menyebutkan bahwa sebagian besar para sandera masih hidup. Dan pada 2012 berada di sekitar Waropen Atas, Mamberamo Raya, lokasi di mana diperkirakan saksi mata DA melihat Rahmania digilir dan bunuh diri.


Esok, 3 Maret 2014, tepat lima tahun kasus ini terjadi. Salah seorang keluarga korban memohon kepada saya untuk bisa bicara ke media terutama televisi. Saya katakan di saat tahun politik kini, kisah seperti ini bisa jadi kurang laku. Saya pun pernah menyarankan seluruh telepon selular korban diforensik digital. Namun upaya ini, tentu membutuhkan biaya, tak banyak orang mau bekerja sosial. Saya katakan kini, kita coba saja di media sosial, siapa tahu satu, dua media mau mengupas masalah ini.


Dalam kulwitt saya di Twitter semalam dengan hastag #Verifikasi17oranghilangPapua saya pun menyitir riset literatur. Bahwa Koran Bintang Papua, 11 Juli 2011, juga pernah memberitakan 6 orang anggota Badan Intelijen Negara RI, berikut 5 warga sipil hilang di perairan Mansaburi Manokwari. Itu artinya 17 orang, ditambah 9 karyawan Kodeco, plus 11, berjumlah 37 nyawa “lenyap” seakan kini tak tahu rimbanya.


Sementara itu, Bupati Mamberamo Raya saat ini hingga 2015 masih Demianus Kyeuw Kyeuw. Telepon selularnya di nomor 081317737xxx tidak bisa saya kontak, nada tidak menjawab. Salah satu anggota TPFI, yang berusaha meminta waktu berjumpa dengannya mengkonfirmasi kasus raibnya 17 orang hilang ini, mendapat jawaban, “Kalau kau mau membahas masalah ini, tanya ke Polda Papua, itu tanggung jawab Polda Papua, kau mau ditangkap Polda Papua?”


Dan dalam penulusuran misteri hilangnya 17 orang penumpang speedboat ini, kemudian, ternyata diduga bertali-temali kepada pembunuhan Pendeta Zeth Krioma, saat mengantar logistik Pemilukada ke Barapase 8 April 2009. Pembunuhnya John Tanate dan Esau Rumaikewi, kini sudah dipenjara 20 dan 17 tahun.


Esau di persidangan hari ke-6 berteriak di ruang sidang. Ia mengakat tangan dengan Alkitab di kepala, “Saya akan terkutuk dan keluarga saya tujuh turunan akan terkutuk kalau saya membunuh pendeta. Tetapi kamu semua mesti bersyukur, karena saya tidak dibunuh juga, dan kalau saya dibunuh, pasti 17 orang yang hilang tetap misteri.”


John Tanate berkata ke kakak Ishak Muabuay, Regina Muabuay, ketika berkunjung ke penjara, “Aduh Ibu Guru kamu tolong saya, kalau saya biacara, saya punya keluarga habis. Kalau saya tidak bicara kamu semua benci saya.”


Itu artinya John dan Esau, bisa dijadikan saksi kunci. Entah mengapa kasus ini dibiarkan bak kentut, bau, tapi berlalu sahaja.


@iwanpiliang Citizen Reporter

Sumber: http://hukum.kompasiana.com/2011/07/26/apa-sih-hebatnya-iwan-piliang-381571.html