Maka agak gundah hati saya, ketika membaca sejumlah tudingan miring bahwa kehadiran TNI di Papua identik dengan kekerasan. Benarkah demikian? Sebagai prajurit, ayah harus melakukan tugas membela kedaulatan negara dari berbagai gangguan. Tetapi sebagai manusia, seorang prajurit juga punya keluarga yang kehadirannya di rumah selalu dinantikan penuh rindu oleh istri dan anak-anak yang dicintainya. Beberapa teman ayah tidak bisa kembali dengan selamat karena gugur di tempat tugas akibat tembakan kelompok sipil bersenjata.
Itulah kenyataan yang masih terus terjadi di Papua hingga saat ini. Masih sering kita baca di media online pernyataan-pernyataan yang meojokkan prajurit TNI.Tidak hanya datang dari para aktivis pelaku gerakan Papua merdeka, tetapi bahkan dari kalangan tokoh gereja. Mari kita telusuri beberapa fakta berikut ini:
Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Persekutuan Gereja-gereja (Ketum BPGG) Baptis Papua, Pdt. Socratez Sofyan Yoman menuding TNI/Polri sebagai biang penyebab konflik di Tanah Papua sejak 2012 hingga saat ini khususnya di Kabupaten Lanny Jaya. Dirinya mendesak Pangdam dan Kapolda setempat bersama Pemkab Lanny Jaya untuk segera menarik kembali seluruh aparat TNI/Polri yang sedang bertugas di Kabupaten Lani Jaya. Hal itu diungkapkan Socratez dalam jumpa pers di kediamannya di Padangbulan, Jayapura, Senin (11/8/2014). (sumber)
Juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) Wilayah La-Pago, Kelly Tabuni menyatakan, peristiwa baku tembak yang terjadi di Kabupaten Lanny Jaya, Provinsi Papua merupakan ‘permainan’ aparat keamanan untuk menciptakan konflik di wilayah itu. (tabloidjubi.com Minggu (3/8/2014).
Tahun sebelumnya, sebuah pernyataan melalui media online lokal yang dikelola sebuah organisasi gerakan kemerdekaan Papua, yaitu Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menulis, “Di seluruh tanah Papua Barat sedang menjalankan operasi terbuka maupun tertutup dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) bersama Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) seperti di Kabupaten Deiyai Pius Mote ditembak mati oleh kepolisian, diKabupaten Sorong dilakukan pengejaran, penangkapan dan penculikan masyarakat sedang berlangsung oleh aparat keamanan Republik Indonesia.” (knpbnews.com 26 September 2013).
Bukan TNI/Polri tetapi TPN/OPM
Tudingan-tudingan itu dibantah oleh Kepala Kampung Purleme, Distrik Mulia, Sem Telenggen, bahwa pelaku penyiksaan warga Papua di Kabupaten Puncak Jaya adalah Tentara OPM (TPN/OPM). (sumber)
Pernyataan kepala kampung Purleme itu cukup bersesuaian dengan peristiwa belum lama ini, yakni penandatanganan kesepakatan para tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda dan pimpinan TNI/Polri disaksikan Bupati dan Wakil Bupati Puncak terkait upaya menghadapi aksi kekerasan tentara OPM. Dalam kesepakatan itu ditetapkan, pelaku pembunuhan terhadap anggota TNI-Polri, maka keluarganya harus membayar denda adat sebesar Rp 2 miliar. (sumber)
Juga pernyataan Uskup Jayapura Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM dalam acara tatap muka dengan Wakapolda Papua dengan para Pastor Se-Jayapura dalam rangka membangun kemitraan guna mewujudkan Kamtibmas yang aman dan damai di wilayah hukum Jayapura dan sekitarnya, antara lain mengatakan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) adalah salah satu kelompok yang selalu menolak apapun program pemerintah seperti Otonomi Khusus, UP4B dan lain lain.
“…kami tak berdaya untuk berbicara dengan KNPB sekedar menyampaikan hal-hal yang tak perlu mereka lalukan, bahkan makin keras dan radikal… Saya tak tahu persis sampai kapan KNPB terus menolak kebaikan. Mungkin (mereka) masih mencari sesuatu yang belum mereka peroleh,” kata uskup Leo. (sumber)
TNI jadi Guru, Petani, dan tenaga kesehatan
Fakta lainnya, banyak sekolah di wilayah gegunungan yang menjadi basis gerakan kelompok tentara OPM ketiadaan guru, lantaran para guru merasa tidak aman dari aksi teror dan penembakan yang dilakukan kelompok OPM lalu meninggalkan tempat tugasnya. Untuk mengisi kekosongan guru, para prajurit TNI selain tugas rutinnya mengamankan wilayah dari gangguan kelompok pengacau keamanan, juga menjadi guru yang mengajar di sekolah-sekolah yang mengalami ketiadaan pengajar.
Itu antara lain dilakukan Sugito, prajurit TNI AD belasan tahun lalu ketika ia bertugas menjaga teritorial RI di pedalaman hutan Papua. Bapak kelahiran 18 November 1963 yang kini sudah berpangkat Peltu itu mampu menggantikan peran guru mengajar di pedalaman Papua selama 13 bulan. Ia tidak hanya mengajarkan pengetahuan umum, tetapi juga mengajarkan hidup sehat. Tempat tugasnya saat itu termasuk wilayah konflik namun ia mampu hidup berdampingan dengan masyarakat setempat. (sumber)
Kekurangan tenaga guru dan kesehatan itu hingga kini belum juga teratasi. Maka pada medio Februari 2014 Kodam Cendrawasih bekerjasama dengan Dikpora Papua serta Fakultas Keguruan Uncen Jayapura menyelenggarakan pelatihan selama tiga pekan dan memberikan sertifikat mengajar kepada 296 prajurit TNI. Mereka saat ini sudah bertugas sebagai guru yang mengisi kekosongan tenaga pengajar di wilayah pegunungan Papua. Juga ada sejumlah prajurit lainnya yang diberikan pengetahuan dan keahlian lain, seperti bidang kesehatan, pertanian, dan perkebunan untuk membantu melancarkan roda pembangunan di Papua. (sumber)
Fakta-fakta di atas semoga bisa membuat kita lebih jernih menilai kampanye kelompok kepentingan tertentu yang terus-menerus (tiada henti) menyudutkan aparat keamanan kita yang sedang bertugas di wilayah Papua. Tentu ada satu dua insiden kekerasan yang dilakukan oleh oknum TNI/Polri. Namun itu sifatnya kasuistik, bukan sistematis (seperti yang dituduhkan). Bagi mereka tentu ada sanksi sangat berat karena telah bertindak di luar kewenangannya. Mulai dari hukuman indisipliner, sanksi administratif hingga pemecatan disertai hukuman badan.Lagi pula, TNI dan Polri tidak dididik untuk bikin kacau negaranya sendiri. Tetapi untuk mengabdikan jiwa dan raganya bagi kejayaan Indonesia. Dan mereka sudah membuktikannya, setidaknya di Tanah Papua.
"Veronika Nainggolan"
0 comments:
Post a Comment