Wednesday, October 22, 2014

Hadiri Pelantikan, Tokoh Adat Papua: Jangan Ganggu Jokowi, Dia Pilihan Tuhan


Papua Satu. Sebanyak 9 orang tokoh adat Papua menghadiri pelantikan Presiden Terpilih Joko Widodo dan Wakil Presiden Terpilih Jusuf Kalla di Gedung DPR/MPR. Mereka yang kebanyakan merupakan kepala suku itu mengaku sebagai relawan setia Jokowi.

"Kita ini tim relawan nasional. Kita kerja keras (memenangkan Jokowi-JK) makanya kita hadiri. Nggak dapat akomodasi dari Pemda, kami pakai biaya sendiri," ujar Kepala Suku Umum Perang Adat Jaya Wijaya, We Leologo, kepada detikcom di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakpus, Senin (20/10/2014).

Leologo dan rekan-rekannya berjuang untuk Jokowi karena melihat mantan Gubernur DKI Jakarta itu sebagai pilihan Tuhan sehingga mereka tak rela jika Jokowi dihujat, disalahkan, apalagi dihina-hina oleh pihak-pihak tertentu.

"Kami angkat Jokowi karena Beliau (bekerja) dengan hati nurani dan membuat kita bangga. Kalau Jokowi dikritik atau dicari-cari kesalahannya, lebih baik Papua merdeka. Jokowi pilihan Tuhan, tidak boleh (disalahkan)," kata Leologo.

"Kalau Jokowi disalah-salahkan, nanti Jakarta akan Tsunami. Sama seperti di Aceh karena (Jokowi) sudah dipilih oleh alam, Allah, dan adat. Ada tanda khusus di Jokowi. Saya lihat Jokowi langsung menggigil dan bulu kuduk berdiri," tambahnya.

Sementara itu Kepala suku Dominikus Mabel yang merupakan Ketua koordinator anak-anak pejuang Pegunungan Tengah mengaku Jokowi tulus berjuang untuk Papua. Untuk itulah para suku adat menjatuhkan pilihannya kepada suami Iriana itu.

"Kita di Papua selama ini disisihkann dan melihat Jokowi memperhatikan kita makanya kita pilih Beliau. Harapan kita ingin Pak Jokowi bisa lebih memperhatikan kita karena selama ini kita pakai uang sendiri untuk semuanya. Kami mohon difasilitasi. Semua orang tahunya kita dikasih (dana) Pemda, padahal tidak," jelas Dominikus.

Dari 9 tokoh adat Papua yang hadir di Gedung MPR/DPR di antaranya adalah tokoh adat Pegunungan Tengah Veronika , tokoh adat calon Kab Okika Petronela Geai, dan Kepala suku adat Jaya Wijaya bagian Kesuburan Haligiok Mabel yang mengenakan topi tanda kepala suku. Selain itu juga Dominikus Mabel dan kepala suku besar Papua Tengah Daminaus Degri. Mereka mengaku datang menggunakan pesawat dan menginap di hotel dengan menggunakan biaya sendiri. [detik.com]

Biro Papua PGI: Gereja Tak Pernah Berpihak pada Separatis


Papua Satu. Novel Matindas, Kepala Biro Papua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) mengatakan gereja dalam setiap konflik Papua tidak pernah berpihak kepada separatis.
Novel mengemukakan hal ini kepada satuharapan.com pada Rabu (22/10/2014) di Gedung PGI, di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.
“Gereja tidak mendukung separatisme di (Papua), sebaliknya gereja mendukung adanya keadilan bagi orang Papua. Nah contohnya ada OPM (Organisasi Papua Merdeka) tidak pernah gereja mendukung itu, akan tetapi apabila ada salah satu anggota OPM terluka dan membutuhkan pertolongan maka gereja akan memberi advokasi,” kata Novel.
Novel mengemukakan gereja saat ini akan lebih memberikan advokasi kepada mereka yang tertindas atau korban apabila ada kasus penangkapan pro separatis di Papua.
“Apabila ada anggota separatis yang tertangkap maka gereja akan mendukung pengadilan agar orang tersebut akan diadili seadil-adilnya,” Novel menambahkan.
“Gereja mengharapkan peradilan yang bersih di Indonesia dalam artian mereka tidak dianiaya di lapangan dan yang sekarang terjadi adalah mereka sekarang sudah tersiksa terlebih dahulu bahkan ada beberapa yang sudah cacat sebelum menjalani pengadilan,” Novel menambahkan.
Novel mengemukakan hal ini dalam rangka menjelang Sidang Raya XVI PGI yang akan digelar di Gunung Sitoli, Nias, Sumut medio November nanti.
Pada beberapa Sidang Raya PGI sebelumnya di Mamasa pada 2009 permasalahan Papua menjadi salah satu pokok bahasan penting, dan tidak hanya  mengenai masalah Hak Asasi Manusia tetapi PGI juga menangkap bahwa saat ini ada masalah ekonomi, dan politik yang acap kali dikebiri oleh pemerintah pusat.
Dalam hubungannya dengan separatisme, pihaknya masih mengingatkan lagi tentang Peraturan Pemerintah (PP) No 77 Tahun 2007 tentang lambang daerah saat ini pemerintah harus memperhatikan tentang lambang bintang kejora yang sempat marak dibicarakan, maka negara harus membedakan mana yang merupakan simbol kultural bukannya simbol politik.
“Semenjak sidang raya di Mamasa sudah dibahas ketiga masalah tersebut nantinya di Nias akan dibahas tentang hal ini walau tidak ada isu khusus yang membahas Papua akan tetapi akan ada pembicaraan soal itu,” Novel menambahkan.
PGI berharap media dapat memberitakan tentang Papua dengan jelas dan netral, karena saat ini pihaknya mendapati banyak informasi yang salah dan tidak tepat sehingga masyarakat dapat mendapat hal yang baik. [SATUHARAPAN.COM]

Papua dan Aceh Ingin Sejahtera dan Damai, Bukan Merdeka


Papua Satu. Meski otonomi khusus (Otsus) Papua sudah berlangsung selama 15 tahun terakhir ini, dengan anggaran puluhan bahkan ratusan triliun rupiah, namun rakyat Papua masih miskin dan terpinggirkan. Karena itu, pemerintahan Jokowi-JK diharapkan serius memperhatikan kesejahteraan dan infrastruktur transportasi, sosial, pendidikan dan kesehatan rakyat Papua. Hanya itu yang diharapkan, bukan merdeka.
Demikian disampaikan anggota DPD RI asal Papua, Mesakh Mirin dalam dialog kenegaraan ‘Harapan DPD RI Terhadap pemerintahan Jokowi-JK’ bersama anggota DPD RI Fachrul Razi (Aceh), Abdurahman Abubakar Bahmid (Gorontalo), dan Boediono (Jawa Timur) di Gedung DPD/MPR RI Jakarta, Rabu (22/10/2014).
UU Otonomi khusus nomor 21 tahun 2001 tentang Papua sejauh ini sudah mengalami beberapa perbaikan. Namun kata Mesakh, UU Otsus Papua tersebut tidak berjalan baik karena terjadi saling curiga-mencurigai antara pemerintahan pusat dan daerah. Karena itu, paradigma pemimpin bangsa ini harus diubah untuk tidak selalu berpikir bahwa Papua ingin merdeka dan merdeka dari NKRI.
“Rakyat Papua itu ingin hidup sejahtera, damai, dan sama seperti saudara-saudara di seluruh Indonesia, yang duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi, sehingga kita merupakan bagian dari NKRI. Juga Aceh,” tambahnya.
Kenapa Jokowi dalam Pilpres pada 9 Juli 2014 hampir 100 % menang di Papua, kata Mesakh, karena rakyat Papua ingin perubahan dari pemerintahan Jokowi-JK ini. “Dan, kalau dana Otsus itu selalu dikatakan dikorupsi, kenapa pejabat Papua itu tidak ditangkap? Jadi, jangan pilih kasih atau tebang-pilih dalam penegakan hukum itu. Untuk itu, Jokowi harus tegas,” katanya berharap.
Hal yang sama disampaikan Fachrul Razi, jika sejak pemerintahan Bung Karno, Soeharto, Megawati sampai SBY, Aceh selalu tertipu. Di mana janji-janji presiden itu hampir tak pernah terealisir, bahkan kekayaan sumber daya alam Aceh yang selalu diambil oleh pusat.
“Misalnya masih terjadi pertumpahan darah, mengingkari perjanjian Helsinki, aturan turunan yang tumpang-tindih yang merugikan masyarakat Aceh. Untuk itu, Jokowi-JK harus mencabut dan membereskan semua itu,” ujarnya berharap.
Dikatakan, jika Aceh tidak meminta merdeka, melainkan hanya kesejahteraan dan keadilan. Juga menolak pemekaran daerah, karena hal itu bukan jawaban untuk rakyat Aceh. “Jadi, Jokowi-JK harus mampu mewujudkan janji-janjinya termasuk menciptakan politik yang damai, sejahtera, dan adil dalam bingkai NKRI serta tidak mengeluarkan aturan yang bertentangan dengan perjanjian Helsinki,” pungkasnya.
Sosialisasi perjanjian Helsinski dan UPA (Undang-undang pemerintahan Aceh) sudah sering dilakukan di seluruh wilayah di Aceh juga di Jakarta. Hal itu mengingat bersama bahwa perjanjian damai itu cukup sulit dan sebaliknya gejolak lebih mudah. Sosialisasi MoU Helsinki dan UU RI Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, diharapkan terealisir. [pikiran-rakyat.com]

Makna Potongan Tumpeng Presiden Jokowi bagi Masa Depan Papua


Papua Satu. Tiga ibu (mama) asal Papua yang sehari-hari berjualan di pasar tradisional di Kota Jayapura, mendapat potongan tumpeng ‘Syukuran Rakyat’ Pelantikan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden di Monas, Jakarta, Senin (20/10/2014) malam.
Ketiga Mama Papua itu adalah Yuliana Pigay, Miriam Awarawi dan Dolfiance SraunMereka mengaku rela terbang jauh dari Papua ke Jakarta dengan uang sendiri.  Biaya tiket pesawat dan penginapan di Jakarta  diambil dari modal dagang masing-masing Rp 8 juta. Semua pengorbanan itu dilakukan ketiga mama Papua demi bertatap muka dan menyampaikan harapan kepada sang idola, Presiden Jokowi.
“Kami tidak dibiayai, uang kami sendiri. Pemerintah tidak pernah perhatikan kami, apalagi kami mau ke sini. Dari panitia juga tidak dapat biaya. Kami tinggal di hotel, tapi tidak tahu hotelnya di daerah mana, karena kami baru pertama di Jakarta,” kata Yuliana sebagaimana dirilis tribunnews.comtanggal 20 Oktober 2014.
“Biar uang kami habis, tapi kami bisa bersyukur Jokowi naik jadi presiden dan bisa bertemu. Nanti, kami berharap Jokowi ke Papua dan bangun pasar dan mal di sana. Karena sejak saya lahir, saya ingin dibangun mal untuk mama-mama Papua,” imbuh perempuan yang menjadi Ketua Pedagang Mama-mama Papua. http://www.tribunnews.com/nasional/2014/10/21/mama-papua-rela-habis-modal-dagang-demi-bertemu-jokowi
Kehadiran tiga Mama Papua di panggung Syukuran Rakyat di Monas itu kontan menjadi perhatian dan pemberitaan di banyak media. Mama Dolvin kepada Detik.com yang mengaku sebelumnya pernah bertemu Jokowi pada saat Jokowi berkampanye di Papua 5 April lalu. Jokowi sempat blusukan ke pasar, tempat Mama Dolvin berjualan. Mama Dolvin memberikan bingkisan kepada Jokowi, lalu Jokowi menjanjikan Mama Dolvin ke Jakarta jika dirinya jadi presiden.
Maka tumpeng ia terima langsung dari tangan Presiden Jokowi adalah bukti kesungguhan Jokowi pada apa yang sudah ia janjikan. Artinya Jokowi adalah sosok yang tak sekadar umbar janji, termasuk janji saat kampanye. Kendati janji kepada orang kecil sekalipun, bagi Jokowi janji adalah hutang yang harus dibayar, tak peduli kepada siapa janji itu diberikan. Sekali lagi, potongan tumpeng Jokowi kepada tiga Mama Papua semalam telah membuktikannya.
Terkait Papua,  sering saya ulas dalam forum Kompasiana ini bahwa Papua telah menjadi agenda prioritas 100 hari pertama Pemerintahan Jokowi-JK. Bukti keseriusan Jokowi atas pernyataannya itu sudah ditunjukkan pagi tadi (21/10/2014). Satu hari setelah dilantik menjadi Presiden, Jokowi langsung ‘blusukan’ ke Papua melalui teleconfference. Ia menyapa penuh kehangatan kepada para siswa sekolah dasar di wilayah Papua, Manado dan Jambi.
Entah karena apa, sejak menjadi Capres definitif, Jokowi selalu memulai hal-hal penting dari Papua. Kampanye hari pertama Jokowi lakukan di Jayapura. Program tol laut akan dimulai dari Pelabuhan Sorong (Provinsi Papua Barat). Dan hari ini, di hari-hari pertamanya sebagai Presiden RI ke-7, Jokowi pertama kali e-blusukan dengan anak-anak Papua.
Fenomena ini bagi saya sebagai orang Papua, telah membersitkan sebuah harapan besar bahwa pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi akan memberikan perubahan besar terhadap Papua. Saya menyadari salah satu keunggulan Jokowi adalah kemampuan komunikasinya. Jokowi sudah menjanjikan akan adanya dialog dengan semua elemen Papua, termasuk dengan tokoh-tokoh yang masih bersebarangan. Dengan kemampuannya itu, saya percaya perbedaan pandangan yang masih ada dalam benak tokoh-tokoh Papua dimaksud dapat didamaikan, asalkan ada komitmen yang kuat dari kedua belah pihak serta itikad baik dan niat luhur untuk kebaikan bersama. Semoga.

New RI president must prioritize Papua: HRW


Papua Satu. President Joko “Jokowi” Widodo should use his first official visit to Papua and West Papua on Thursday to endorse specific measures to address serious human rights problems on the country’s easternmost island, according to a New York-based rights watchdog.
Human Rights Watch (HRW) deputy Asia director Phelim Kine said Jokowi deserved credit for recognizing that Papua’s problems demanded the urgent attention of his new government.
“However, President Widodo should recognize that this government can’t just spend its way out of Papua’s problems; it needs to address an abusive status quo rooted in persistent human rights violations in Papua,” Kine said in a press release made available to The Jakarta Post on Tuesday (Oct. 21, 2014).
Jokowi is scheduled to visit Papua and West Papua three days after his inauguration. He has promised to devote “special attention” to Papua and to improve health-care and education in the two provinces as a means of easing “political tensions” in the resource-rich areas.
HRW said Papua presented particular governance challenges for the Jokowi administration, as the ongoing low-level conflict with the small and poorly organized Free Papua Movement (OPM) had placed security responsibilities on the government. [the jakarta post]

Agar Papua tak Minta Merdeka, Jokowi Harus Rajin Blusukan


Papua Satu. Masyarakat Papua Barat mengharapkan presiden dan wapres RI Joko Widodo-Jusuf Kalla tetap mempertahankan kebiasaan blusukan untuk menjangkau aspirasi mereka.
“Saya harapkan nanti Pak Jokowi jangan sampai meninggalkan kebiasaan suka blusukan dan terjun ke lapangan untuk melihat permasalahan di tengah masyarakat,” kata Fatrisus Maga seorang tokoh Pemuda Papua Barat, Selasa (21/10).
Dia mengatakan, kebiasaan blusukan Jokowi yang membuat masyarakat Indonesia mempercayakan Jokowi dan Jusuf Kalla memimpin bangsa Indonesia.
“Kebiasaan blusukan Jokowi sangat efektif untuk pembangunan bangsa saat ini karena terkadang kebijakan kepala negara untuk kesejahteraan masyarakat salah diterjemakan di daerah apalagi di Papua dan Papua Barat,” katanya.
Ia berharap Jokowi dan Jusuf Kalla tidak bosan blusukan di Papua dan Papua Barat agar kebijakannya  tepat sasaran. Sehingga masyarakat di tanah Papua tidak minta merdeka atau memisahkan diri dari negara.
“Masyarakat Papua Barat yakin Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla mempunyai komitmen yang tinggi untuk membangun tanah Papua lebih maju ke depan,” ujarnya.[republika.co.id]

Repatriasi Harga Mati


Papua Satu. Kekesalan yang memuncak akibat konflik Irian Barat membuat orang-orang Belanda diusir dari Indonesia.
HARI masih pagi ketika Kapal Waterman tiba di Rotterdam, Belanda pada 6 September 1958. Kapal terakhir itu mengangkut ribuan orang Belanda dari Indonesia. Pemerintah Indonesia memulangkan (repatriasi) mereka sebagai buntut dari sengketa Irian Barat.
Pada 29 November 1957, PBB gagal menyetujui resolusi yang menyerukan kepada Belanda supaya berunding dengan Indonesia soal Irian Barat. Irian Barat pun tetap di bawah kekuasaan Belanda. Sukarno menyatakan, jika mosi yang diajukan Indonesia di Sidang Umum PBB ditolak, pemerintah Indonesia akan mengambil “jalan lain yang akan mengejutkan dunia.”
Pada 1 Desember 1957, pemerintah melarang terbitan-terbitan berbahasa Belanda, maskapai penerbangan Belanda KLM mendarat di Indonesia, dan warga negara Belanda memasuki Indonesia. Pada 2 Desember 1957, Menteri Penerangan Sudibyo selaku ketua Aksi Pembebasan Irian Barat memerintahkan kepada semua buruh perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia untuk mogok total selama 24 jam, yang berujung pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda.
Pada 5 Desember 1957, tepat di hari pesta Sinterklaas, Sukarno mengultimatum semua orang Belanda secepatnya meninggalkan Indonesia. Sukarno juga melarang siapa pun di hari itu mengadakan pesta Sinterklaas yang dianggap budaya Belanda. Pelarangan tersebut dikenang sebagai Sinterklaas Hitam. Setelah itu, sentimen anti-Belanda menjalar di mana-mana. (Baca: Sinterklas Hitam)
“Kampanye dilakukan dengan melakukan demo-demo dan aksi corat-coret dengan cat di tembok-tembok atau poster-poster berisi kebencian terhadap orang Belanda dan hasutan untuk mengusir mereka,” tulis Firman Lubis dalam Jakarta 1950-an: Kenangan Semasa Remaja.
Harian Indonesia Raja 6 Desember 1957 memberitakan, berdasarkan kebijakan yang dikeluarkan Menteri Kehakiman GA Maengkom, pemulangan orang-orang Belanda dibagi dalam tiga tahap:steuntrekkers (golongan tidak memiliki pekerjaan), middenstanders (kalangan menengah), danvakspecialisten (kalangan tenaga ahli).
“Sesuai dengan putusan sidang Kabinet tanggal 5 Desember terhadap 9.000 orang warga negara Belanda yang umumnya pada waktu itu tidak mempunyai pekerjaan tetap, akan didahulukan pemulangannya,” tulis Merdeka, 10 Desember 1957.
Pemulangan orang-orang Belanda dimulai pada 10 Desember 1957 menggunakan Garuda Indonesia Airways dan maskapai asing. Pemulangan juga dilakukan melalui jalur laut. Pemulangan ini bisa dikatakan klimaks, sejak repatriasi pertama setelah proklamasi kemerdekaan pada 1945 dan setelah pengakuan kedaulatan pada 1949.
Menurut Firman Lubis, sensus penduduk pada 1940 mendata 120.000 orang Belanda di Indonesia; mayoritas Indo, sisanya Belanda totok. Pada permulaan 1950-an, jumlahnya tinggal 80.000, sekira 50.000 menetap di Jakarta. Jumlah ini menurun karena pemulangan pada 1957-1958, menyisakan 40.000-50.000 di seluruh Indonesia. Di Jakarta sendiri tinggal 14.000 orang, sebagian besar Indo.
“Di Belanda sekarang ini ditaksir ada 200-300 ribu orang yang tergolong Indo. Satu di antara tujuh orang Belanda atau sekitar 15 persen dari seluruh penduduk Belanda mempunyai ikatan dengan Indonesia. Baik mempunyai darah keturunan, atau nenek moyang mereka pernah tinggal di Indonesia,” tulis Firman Lubis.
Mereka yang tidak pulang dan memilih jadi warga negara Indonesia bergabung dalam Gabungan Indo untuk Kesatuan Indonesia (GIKI) yang didirikan pada 1951, sebagai perubahan dari Indo Europeesch Verbond (IEV). GIKI dibubarkan pada 14 Mei 1961. [HISTORIA.CO.ID] dirilis :https://id.berita.yahoo.com/repatriasi-harga-mati-nbsp;-nbsp;-063722491.html  tanggal 21 Oktober 2014.

Wednesday, October 08, 2014

Papua, Provinsi dengan Pelayanan Investor Terbaik

KANTOR GUBERNUR PAPUA

Papua Satu. Pemerintah memberikan penghargaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal (PTSP PM) kepada provinsi, kabupaten, dan kota yang dinilai berprestasi dalam melayani para investor untuk berinvestasi di daerah-daerah di Indonesia.

Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Eko Prasodjo mengatakan, penghargaan tersebut merupakan bagian yang sangat penting dalam reformasi birokrasi, yang mencangkup tentang penanaman modal atau investasi.

“Penghargaan ini mencakup pelayanan dalam penanaman modal. PTSP sendiri merupakan bagian yang sangat penting dalam reformasi birokrasi,” kata Eko Prasodjo dalam acara penghargaan digelar di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (7/10/2014).

Kabupaten yang memperoleh penghargaan antara lain, Kabupaten Sragen (Peringkat 1), Kabupaten Indragiri Hulu (Peringkat 2), Kabupaten Siak (Peringkat 3), dan Kabupaten Pinrang (Peringkat 4). Untuk kota yang menerima penghargaan tersebut antara lain, Kota Bitung (Peringkat 1), Kota Solo (Peringkat 2), Kota Pekanbaru (Peringkat 3), dan Kota Banjar (Peringkat 4).

Sedangkan untuk tingkat provinsi, yang memperoleh penghargaan yaitu, Provinsi Jawa Timur (Peringkat 1), Provinsi Sumatera Sepatan (Peringkat 2), Provinsi DI Yogyakarta (Peringkat 3), dan Provinsi Kalimantan Timur (Peringkat 4). Selain itu, ada pula penghargaan khusus yanh diberikan kepada Provinsi Papua dan Kabupaten Buru dalam hal pelayanan investor. [Suara.com]

Filep Karma Layak Dapat Nobel Perdamaian 2014

filep karma-nobel

Papua Satu. Dunia saat ini sedang menunggu pemenang Nobel. Lima anggota Komite Nobel telah mempelajari dengan seksama rekam jejak 237 calon peraih Hadiah Nobel Perdamaian tahun ini. Nama pemenang akan diumumkan dini hari nanti (8/10/2014) waktu  Oslo, Norwegia.

Melihat keputusan panitia yang kadang mengejutkan membuat spekulasi pemenang tahun ini menjadi teka-teki menarik. Dari daftar calon yang ada, tidak ada nama-nama yang sangat menonjol. Jika ada yang disebut sebagai calon favorit, mungkin predikat ini layak disandang pembangkang dari Tiongkok yang dipenjara, Liu Xiaobo. Dalam sepuluh tahun terakhir ia menghabiskan banyak waktu untuk memprotes catatan hak asasi manusia di Cina. Saat ini Liu Xiaobo sedang menjalani masa tahanan 11 tahun atas tuduhan melakukan subversi.

Adakah calon dari Indonesia?

Dalam daftar 237 calon peraih Nobel Perdamaian itu mungkin saja ada kandidat dari Indonesia. Memang dalam sejarah Nobel Prize, tokoh dari Indonesia belum pernah ada yang terpilih. Selama ini peraih Nobel masih didominasi negara Amerika Serikat dengan 338 Nobel sejak zaman Theodore Roosevelt. Disusul Inggris Raya dan beberapa negara Eropa lainnya serta Amerika Latin. Kawasan Asia hanya Tiongkok dengan 9 penghargaan, disusul Myanmar (Birma) dan Vietnam masing-masing satu Nobel.

Nama Pramoedya Ananta Toer sejak tahun 1996 sudah masuk nominasi sebagai kandidat peraih Nobel Sastra. Itu berkat perannya dalam membangun cerita humanis lewat jalur sastra. Kisah pertentangannya dengan pemerintah, celetuk-celetuk satire-nya soal pembengkokan sejarah, hingga visinya membawa nama Indonesia ke kancah dunia membuat Pram dinilai pantas meraih Nobel. Namun ibarat hasil Pilkada, Nama Pram sejauh ini hanya bertengger di daftar ‘calon tetap’ atau ‘tetap calon’.

Kalau melihat spekulasi dunia saat ini yang menjagokan Liu Xiaobo, mestinya tokoh Indonesia yang memiliki kesamaan trend isu Xiaobo adalah Filep Karma. Riwayat kehidupan tokoh gerakan Papua Merdeka ini nyaris sama dan sebangun dengan pembangkang dari Tiongkok itu. Sama-sama masuk kriteria ‘pembangkang’ dan sedang menjalani masa hukuman di penjara selama belasan tahun. Kalau Xiaobo dihukum karena melakukan subversi, sementara ‘dosa’ Filep Karma beda tipis, yakni makar.
Gagal melakukan makar, Karma kini lebih sering menyuarakan masalah pelanggaran HAM di Papua, termasuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kelompok sipil bersenjata . Bahkan ia adalah korban pelanggaran HAM itu sendiri. Berbeda dengan rekan sepergerakannya Benny Wenda yang baru bisa berceloteh setelah kabur dari penjara dan mendapat suaka politik dari Inggris, dan berpindah kewarga negaraan untuk dijadikan pengabdi kepentingan ekonomi Inggris. Karma dinilai lebih konsisten dalam perjuangan dalam perjuangan karena rela hidup sengsara dalam satu penjara dengan puluhan napi kasus makar lainnya. Bukan hidup di apartemen mewah di bilangan elit Oxford dengan uang hasil ‘jualan’ isu genosida di Papua. Atau menjadi bintang iklan produk minyak wangi ‘Lush’ yang mengkampanyekan ‘aroma kebebasan’.

Turut prihatin untuk bapak Filep Karma. Semoga Nobel Perdamaian tahun ini menjadi milik bapak, demi kedamaian papua [*]

"Gerry Setiawan"

Bhakti TNI untuk Kemajuan Papua

Papua Satu. Saya adalah anak seorang prajurit TNI. Dulu, ayah saya yang sering bertugas ke berbagai daerah, termasuk Papua. Ketika ibu melahirkan saya (di Jakarta), ayah baru saja ditugaskan ke Papua, sehingga kelahiran saya tidak bisa ditunggui ayah tercinta. Ayah baru bisa menggendong saya enam bulan kemudian. Lalu pergi lagi dan baru pulang lagi enam bulan kemudian. Begitulah dinamika pertemuan saya dengan ayah hingga saya duduk di bangku SMP. Kadang saya iri hati melihat teman-teman sekolah saya yang hidup selalu dalam keluarga yang lengkap setiap hari. Itulah perasaan saya waktu itu. 

Maka agak gundah hati saya, ketika membaca sejumlah tudingan miring bahwa kehadiran TNI di Papua identik dengan kekerasan. Benarkah demikian? Sebagai prajurit, ayah harus melakukan tugas membela kedaulatan negara dari berbagai gangguan. Tetapi sebagai manusia, seorang prajurit juga punya keluarga yang kehadirannya di rumah selalu dinantikan penuh rindu oleh istri dan anak-anak yang dicintainya. Beberapa teman ayah tidak bisa kembali dengan selamat karena gugur di tempat tugas akibat tembakan kelompok sipil bersenjata.

Itulah kenyataan yang masih terus terjadi di Papua hingga saat ini. Masih sering kita baca di media online pernyataan-pernyataan yang meojokkan prajurit TNI.Tidak hanya datang dari para aktivis pelaku gerakan Papua merdeka, tetapi bahkan dari kalangan tokoh gereja. Mari kita telusuri beberapa fakta berikut ini:

Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Persekutuan Gereja-gereja (Ketum BPGG) Baptis Papua, Pdt. Socratez Sofyan Yoman menuding TNI/Polri sebagai biang penyebab konflik di Tanah Papua sejak 2012 hingga saat ini khususnya di Kabupaten Lanny Jaya. Dirinya mendesak Pangdam dan Kapolda setempat bersama Pemkab Lanny Jaya untuk segera menarik kembali seluruh aparat TNI/Polri yang sedang bertugas di Kabupaten Lani Jaya. Hal itu diungkapkan Socratez dalam jumpa pers di kediamannya di Padangbulan, Jayapura, Senin (11/8/2014). (sumber)

Juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) Wilayah La-Pago, Kelly Tabuni menyatakan, peristiwa baku tembak yang terjadi di Kabupaten Lanny Jaya, Provinsi Papua merupakan ‘permainan’ aparat keamanan untuk menciptakan konflik di wilayah itu. (tabloidjubi.com Minggu (3/8/2014).

Tahun sebelumnya, sebuah pernyataan melalui media online lokal yang dikelola sebuah organisasi gerakan kemerdekaan Papua, yaitu Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menulis, “Di seluruh tanah Papua Barat sedang menjalankan operasi terbuka maupun tertutup dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) bersama Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) seperti di Kabupaten Deiyai Pius Mote ditembak mati oleh kepolisian, diKabupaten Sorong dilakukan pengejaran, penangkapan dan penculikan masyarakat sedang berlangsung oleh aparat keamanan Republik Indonesia.” (knpbnews.com 26 September 2013).

Bukan TNI/Polri tetapi TPN/OPM

Tudingan-tudingan itu dibantah oleh Kepala Kampung Purleme, Distrik Mulia, Sem Telenggen, bahwa pelaku penyiksaan warga Papua di Kabupaten Puncak Jaya adalah Tentara OPM (TPN/OPM). (sumber)

Pernyataan kepala kampung Purleme itu cukup bersesuaian dengan peristiwa belum lama ini, yakni penandatanganan kesepakatan para tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda dan pimpinan TNI/Polri disaksikan Bupati dan Wakil Bupati Puncak terkait upaya menghadapi aksi kekerasan tentara OPM. Dalam kesepakatan itu ditetapkan, pelaku pembunuhan terhadap anggota TNI-Polri, maka keluarganya harus membayar denda adat sebesar Rp 2 miliar. (sumber)

Juga pernyataan Uskup Jayapura Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM dalam acara tatap muka dengan Wakapolda Papua  dengan para Pastor Se-Jayapura dalam rangka membangun kemitraan guna mewujudkan Kamtibmas yang aman dan damai di wilayah hukum Jayapura dan sekitarnya, antara lain mengatakan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) adalah salah satu kelompok yang selalu menolak apapun program pemerintah seperti Otonomi Khusus,  UP4B  dan lain lain.
“…kami tak berdaya untuk berbicara dengan KNPB sekedar menyampaikan hal-hal yang tak perlu mereka lalukan, bahkan makin keras dan radikal… Saya tak tahu persis sampai kapan KNPB terus menolak kebaikan. Mungkin (mereka) masih mencari sesuatu yang belum mereka peroleh,” kata uskup Leo. (sumber)

TNI jadi Guru, Petani, dan tenaga kesehatan

Fakta lainnya, banyak sekolah di wilayah gegunungan yang menjadi basis gerakan kelompok tentara OPM ketiadaan guru, lantaran para guru merasa tidak aman dari aksi teror dan penembakan yang dilakukan kelompok OPM lalu meninggalkan tempat tugasnya. Untuk mengisi kekosongan guru, para prajurit TNI selain tugas rutinnya mengamankan wilayah dari gangguan kelompok pengacau keamanan, juga menjadi guru yang mengajar di sekolah-sekolah yang mengalami ketiadaan pengajar.

TNI mengajar-3 

Itu antara lain dilakukan Sugito, prajurit TNI AD belasan tahun lalu ketika ia bertugas menjaga teritorial RI di pedalaman hutan Papua. Bapak kelahiran 18 November 1963 yang kini sudah berpangkat Peltu itu mampu menggantikan peran guru mengajar di pedalaman Papua selama 13 bulan. Ia tidak hanya mengajarkan pengetahuan umum, tetapi juga mengajarkan hidup sehat. Tempat tugasnya saat itu termasuk wilayah konflik namun ia mampu hidup berdampingan dengan masyarakat setempat. (sumber)

Kekurangan tenaga guru dan kesehatan itu hingga kini belum juga teratasi. Maka pada medio Februari 2014 Kodam Cendrawasih bekerjasama dengan Dikpora Papua serta Fakultas Keguruan Uncen Jayapura menyelenggarakan pelatihan selama tiga pekan dan memberikan sertifikat mengajar kepada 296 prajurit TNI. Mereka saat ini sudah bertugas sebagai guru yang mengisi kekosongan tenaga pengajar di wilayah pegunungan Papua. Juga ada sejumlah prajurit lainnya yang diberikan pengetahuan dan keahlian lain, seperti bidang kesehatan, pertanian, dan perkebunan untuk membantu melancarkan roda pembangunan di Papua. (sumber)

Fakta-fakta di atas semoga bisa membuat kita lebih jernih menilai kampanye kelompok kepentingan tertentu yang terus-menerus (tiada henti) menyudutkan aparat keamanan kita yang sedang bertugas di wilayah Papua. Tentu ada satu dua insiden kekerasan yang dilakukan oleh oknum TNI/Polri. Namun itu sifatnya kasuistik, bukan sistematis (seperti yang dituduhkan). Bagi mereka tentu ada sanksi sangat berat karena telah bertindak di luar kewenangannya. Mulai dari hukuman indisipliner, sanksi administratif hingga pemecatan disertai hukuman badan.Lagi pula, TNI dan Polri tidak dididik untuk bikin kacau negaranya sendiri. Tetapi untuk mengabdikan jiwa dan raganya bagi kejayaan Indonesia. Dan mereka sudah membuktikannya, setidaknya di Tanah Papua.

"Veronika Nainggolan"

Wednesday, October 01, 2014

Titah Mengajar Sambil Hindari Senjata

Papua Satu. Bagi Titah Putri Firdausi, mengajar di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) bukan hanya mendidik muridnya, tetapi juga menghindari kontak senjata. Pasalnya, dia ditempatkan di daerah konflik, Kabupaten Jaya Wijaya, Papua. 

Wilayah ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Lanny Jaya. Warga di Lanny Jaya kerap terlibat konflik dan adu senjata yang cukup intens. 

Selama setahun, Titah menjadi guru di SMPN 2 Asologaima. Setiap hari, dia datang lebih awal dari anak didiknya. Jam belajar baru akan dimulai jika siswa yang tinggal di balik bukit sudah berkumpul di sekolah. 

Peserta program SM3T dari Universitas Mulawarman ini menetap di sekolah. Sedangkan kebanyakan siswanya tinggal di balik bukit yang jaraknya berkilometer. Mereka tidak mengenal jam. Sebagai penanda waktu, anak-anak ini menggunakan matahari. 

"Anak-anak ini baru akan berangkat ke sekolah apabila matahari sudah muncul. Kalau kebetulan pagi itu mendung, mereka baru ke sekolah pukul sembilan atau pukul sepuluh. Jadi, kelas dimulai dengan mengikuti jam anak-anak," kata Titah, seperti dilansir laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kamis (25/9/2014). 

SMPN 2 Asologaima memang dikelilingi perbukitan. Tipografi di wilayah yang masuk Kota Wamena ini memang perbukitan dengan suhu antara 10-12 derajat celcius dan disertai angin cukup kencang. Ada 300 anak yang tercatat sebagai siswa di sekolah ini. Namun, hanya sekira 20 anak yang aktif belajar di setiap kelas. Menurut Titah, jumlah ini sudah lumayan banyak mengingat hanya ada satu rombongan belajar di tiap angkatan dan satu kelas percobaan. 

"Kelas percobaan merupakan kelas khusus untuk anak-anak yang belum bisa membaca," imbuh Titah. 

Alumnus Universitas Negeri Malang (UM) ini memaparkan, meski sudah duduk di bangku SMP, masih banyak siswa belum bisa membaca, menulis dan berhitung (calistung). Inilah tugas pertama para guru SM3T di sekolah tersebut. Jika anak didik di kelas percobaan sudah menunjukkan kemajuan, barulah kegiatan belajar mengajar di kelas reguler bisa digelar. 

Titah menilai, mengajar di zona merah berarti mendidik para orangtua untuk mau mendorong anak mereka pergi ke sekolah, tidak melulu terlibat dalam konflik. Untuk mendekati masyarakat, Titah tidak segan turun ke sawah dan menyapa mereka. Bahkan, dia belajar dialek setempat agar lebih mudah diterima. 

"Kesadaran mereka tentang pendidikan masih kurang sekali. Kehidupan primitif di sana lebih mengutamakan berkebun daripada sekolah," paparnya. 

Seperti guru pada umumnya, kelulusan anak didik menjadi momen membahagiakan bagi Titah. Banyak di antara murid TItah menangis terharu di pelukannya begitu mengetahui mereka berhasil lulus ujian. Menurut Titah, tangisan tersebut adalah ungkapan kebahagiaan dan rasa terima kasih kepada gurunya. 

"Bukan dengan kata, melainkan dengan tangis dan pelukan, dan itu benar-benar mengharukan," tuturnya. [okezone.com]

Minuman keras picu KDRT di Papua


Papua Satu. Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Anak Papua, Anike Rawar, menyatakan, minuman keras menjadi pemicu KDRT di sana, mulai dari kekerasan fisik, pelecehan seksual, trauma psikologis, dan lain-lain. Korban cenderung perempuan dan anak-anak. 

"Karena itu masalah minuman keras di Papua perlu mendapat penanganan khusus," kata Rawar, di Biak, Papua, Selasa. 

"Banyak kasus KDRT terhadap perempuan jarang diungkap ke publik karena korban takut atau malu, karena itu di era saat ini kami mendorong setiap kasus KDRT dapat diproses sesuai aturan hukum," katanya. [antaranews.com]