Papua Satu. Selama masa pemerintahan SBY, kebijakan dan program pemerintah untuk membangun Papua, termasuk otonomi khusus, fokus pada tiga isu penting. Pertama,kedaulatan dan keutuhan wilayah. Kedua, keamanan. Ketiga, pembangunan dan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat Papua.Soal isu kesejahteraan dan pembangunan, menurut SBY, selama sembilan tahun terakhir ini ia menitik beratkan dengan berbagai kebijakan dan program aksi, termasuk otonomi khusus.
Demikian pernyataan Presiden SBY awal tahun ini sebagaimana dirilis situs Setgab.go.id, 7 Februari 2014 lalu sekaligus merespon pengajuan draf UU Otsus Plus yang disampaikan oleh Gubernur Papua dan Papua Barat bersama para Bupati/wali kota di kedua provinis itu.
“Nanti kami pelajari, kita godog bersama pemerintah pusat dan daerah. Kalau nanti harus ada penyempurnaan Undang-undang Otonomi Khusus yang sering saya katakan Otonomi Khusus Plus, dalam bingkai NKRI, maka diharapkan membawa manfaat yang nyata bagi masyarakat Papua,” kata Presiden saat itu.
Namun rupanya para elit politik di Papua kurang sabar menunggu hasil pembahasan dimaksud. Dengan berbagai argumen mereka mendesak Pemerintah segera mengesahkan RUU Otsus Plus tersebut. Saat menggelar pertemuan dengan Bupati / Walikota, DPRD, dan MRP, Jumat pekan lalu (12/9/2014), Gubernur Papua Lukas Enembe mengeluarkan sebuah pernyataan yang bernada ancaman :
“Tidak ada pasal yang kami ajukan terkait pemisahan diri dan kami meminta kepada DPR RI yang akan membahasnya tidak salah arti…Kalau Jakarta ragu soal Otsus Plus yang kita ajukan, berarti Jakarta yang forong kita keluar fari NKRI ,” kata Lukas.http://suluhpapua.com/read/2014/09/13/desak-otsus-plus-bukan-berarti-papua-minta-merdeka/
Sementara itu, Komunitas Masyarakat Papua yang diwakili koordinatornya, Saakiyus, meminta DPR tidak tergesa-gesa membahas dan mengesahkan RUU Otsus Plus Papua. Ia meminta Anggota DPR sebaiknya melakukan evaluasi terlebih dahulu terhadap Otsus Papua yang sudah berjalan selama 13 tahun.
“Karena implementasi pelaksanaan Otsus selama 13 tahun harus dievaluasi dahulu,” ujar Saakiyus di sela-sela aksi unjuk rasa bersama Komunitas Masyarakat Papua, depan Gedung DPR, Jakarta, Kamis (18/9/2014).
Demikianpun Koordinator Kaukus Papua Indoenesia dan HMI Community, dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Kamis (18/09/2014). Menurut dua lembaga ini, Otsus Papua selama ini sudah memberikan sebuah keleluasaan bagi rakyat untuk menjalankan kehidupan yang layak dan mensejahterakan rakyat Papua.
“Namun kenyataan di lapangan sangatlah jauh dari harapan. Faktor utama dari “kegagalan” Otsus Papua bukan dari segi produk perundang-undangannya, melainkan mental pejabat Pemerintahan Papua yang sangat korup. Dengan adanya otsus ini, Pemprov Papua sangat memiliki peran dalam menata dan mengelola pemerintahan daerahnya secara otonom tetapi dengan mental korup dari pejabat inilah Otsus Papua berjalan tidak maksimal,” tukas Koordinator Kaukus Papua Indoenesia dan HMI Community, Alfit di Jakarta sebagaimana dirilis okezone.com hari ini.
Free West Papua Leaders Summit
Membaca fenomena ini, saya jadi sedikit berprasangka buruk kepada pihak-pihak yang mendesak segara disahkannya RUU Otsus Plus tersebut, khususnya para kepala daerah di kedua provinsi Papua baik di tingkat kabupaten/kota maupun di tingkat provinsi. Ada sesuatu yang diincar di balik desakan itu. Dan sangat mungkin berkaitan erat dengan penghasilan PT Freeport senilai Rp 14 Triliun. Uang sebesar itu adalah hak pengelolaan atas bagi hasil pajak penghasilan badan PT Freeport Indonesia senilai Rp14 triliun yang saat ini masuk dalam penerimaan daerah Pemprov DKI Jakarta, lantaran kantor pusat PT Freeport berlokasi di wilayah DKI Jakarta. (Baca juga : http://www.antaranews.com/berita/442970/papua-perjuangkan-pajak-badan-freeport-rp14-triliun).
Jika RUU Otsus Plus tersebut belum juga disahkan hingga pelantikan Presiden dan Wapres yang baru, maka cita-cita untuk mendapatkan ‘bonus’ 14 T itu bakal pupus, karena pembaharuan kontrak karya PT Freeport dengan pemerintah Indonesia baru akan dilaksanakan oleh pemerintahan yang baru.
Selain itu, dan ini yang sedikit membuat kita cemas adalah adanya agenda Free West Papua Leaders Summit yang akan berlangsung di Vanuatu tanggal 1 sampai dengan 4 Oktober 2014. Pertemuan yang difasilitasi para politisi Vanuatu itu sedianya untuk merespon rekomendasi pimpinan MSG (Melanesian Spearhead Group) hasil pertemuan di PNG baru-baru ini untuk mempertimbangkan Papua sebagai anggota MSG. Pernyataan Lukas di atas ada kaitannya dengan kepentingan terselubung para politisi Papua yang ingin memanfaatkan Free West Papua Leaders Summit untuk menekan Pemerintah Indonesia agar segera mengesahkan RUU Otsus Plus itu.
Nah, saya kira Pemerintah Pusat dan DPR RI tentu sudah membaca gelagat di balik desakan pengesahan RUU Otsus Plus dari para politisi Papua. Mereka akan lebih hati-hati merespon desakan tersebut, mengingat sudah ada sejumlah pasal dalam draf RUU yang diajukan oleh Lukas Enembe dkk yang dianulir oleh Istana. Seperti pasal tentang adanya Gubernur Jenderal di Papua yang membawahi para Gubernur dan Bupati. (Baca juga:http://politik.kompasiana.com/2014/03/04/mencermati-usulan-pembentukan-gubernur-jenderal-di-papua-637144.html). Maka…waspadalah!!!
Oleh: Hamid Ramli [Kompasiana, 19 September 2014]
0 comments:
Post a Comment