Tugu Silas Papare di Serui. Foto : beritadaerah.com |
Zona Damai: Papua telah terlahir sebagai wilayah NKRI. Fakta sejarah ini dapat ditelusuri dari sejumlah catatan sejarah maupun pelaku sejarah yang berjuang mempertahankan NKRI dari Tanah Papua. Mereka adalah saksi sejarah bahwa di masa lalu, nasionalisme orang Papua telah berkobar mengikuti jejak para pejuang kemerdekaan di wilayah Indonesia lainnya, menentang penjajah Belanda dari bumi Nusantara. Dengan modus yang kurang-lebih sama, para nasionalis asal Papua menggabungkan semangat perjuangan mereka untuk membebaskan Irian dari cengkeraman penjajah Belanda.
Nasionalisme itu terlahir di Kota NICA Hollandia (Sekarang Jayapura) di sebuah lembaga kursus kilat Pamong Praja yang didirikan Belanda tahun 1944 dengan nama PAPUA BESTUUR SCHOOL. Lembaga itu didirkan untuk mengisi kekosongan petugas pemerintahan Belanda di New Guinea (Papua) karena Belanda kekurangan banyak personil akibat invasi Jepang ke Indonesia tahun 1942-1945.
Lembaga itu mendidik sekitar 400-an pemuda dari berbagai suku dan daerah di Papua. Di antaranya adalah Silas Papare, Frans Kaisiepo, Albert Karubuy, Marthen Indy, Johans Ariks, Sugoro Atmoprasojo, Lodewijk, Barent Mandatjan, Samuel Damianus Kawab dan Joseph Djohari.
http://www.carikabar.com/inspirasi/157-tokoh/1182-frans-kaisiepo-nasionalis-dari-timur-indonesia
Kehadiran lembaga ini telah mewarnai kesadaran politik orang Papua. Dari lembaga itu mereka dengan mudah mengikuti semua perkembangan situasi politik yang terjadi di seluruh wilayah Nusantara. Frans Kaisiepo, Silas Papare dan para pendukungnya terinsipirasi untuk ikut berjuang membebaskan Tanah Papua dari penjajah Belanda sebagaimana terjadi di Jawa, Sumatera dan lainnya. Maka secara sembunyi-sembunyi, para peserta kursus itu sering mengadakan rapat secara yang pada intinya menentang pendudukan Belanda di Papua dan ingin bersatu dengan NKRI. Mereka merasa bebas mendiskusikan segala sesuatu yang menyangkut kepentingan masa depan daerah dan pandangan serta pilihan mereka.
Kehadiran lembaga ini telah mewarnai kesadaran politik orang Papua. Dari lembaga itu mereka dengan mudah mengikuti semua perkembangan situasi politik yang terjadi di seluruh wilayah Nusantara. Frans Kaisiepo, Silas Papare dan para pendukungnya terinsipirasi untuk ikut berjuang membebaskan Tanah Papua dari penjajah Belanda sebagaimana terjadi di Jawa, Sumatera dan lainnya. Maka secara sembunyi-sembunyi, para peserta kursus itu sering mengadakan rapat secara yang pada intinya menentang pendudukan Belanda di Papua dan ingin bersatu dengan NKRI. Mereka merasa bebas mendiskusikan segala sesuatu yang menyangkut kepentingan masa depan daerah dan pandangan serta pilihan mereka.
Diskusi antara para buangan dan Silas Papare. Ilustrasi :http://www.flickr.com/photos/10324835@N06/4431037643 |
Mereka kemudian membentuk dewan perwakilan di bawah pimpinan Sugoro Admoprasojo dengan anggota, antara lain Frans Kaisiepo, Marthen Indey, dan Silas Papare, G Saweri, SD Kawab dan teman lainnya. Frans Kaisiepo tidak setuju dengan papan nama yang bertuliskan PAPUA BESTUUR SCHOOL. Ia memerintahkan Markus Kaisiepo, saudaranya, untuk menggantikan papan nama Papua Bestuurschool menjadi IRIAN Bestuurschool.
Mengibarkan Bendera Merah-Putih
Bermodalkan kesadaran politik dan sekumpulan pemuda-pemuda terpelajar, Silas Pepera dan kelompoknya pulang ke kampung halamannya di Serui. Tahun 1946, Silas mendirikan mendirikan PKII (Partai Kemerdekaan Indonesia Irian). Setahun kemudian, tepat pada 17 Agustus 1947 Silas Papare dan kelompoknya, antara lain Albert Karubuy, Marthen Indy, Johans Ariks, Lodewijk, Barent Mandatjan, Samuel Damianus Kawab, Joseph Djohari dan para pendukungnya melakukan upacara pengibaran bendera Merah Putih untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia. Silas memimpin upacara itu. Akibat dari tindakan itu seluruh peserta upacara harus meringkuk dalam tahanan polisi Belanda lebih dari tiga bulan.
Lagerberg (1979) mencatat bahwa PKII memperoleh dukungan dari berbagai kalangan di Irian Dukungan juga datang dari masyarakat Sorong, Manokwari dan Biak (de Bruijn, 1978).
Sebagai Ketua PKII, Silas Papare berpendirian bahwa Papua secara historis tidak terpisahkan dari Indonesia. Tanpa henti Silas memperjuangkan prinsip itu. Dia berpendapat bahwa sebelum proklamasi Indonesia, Papua adalah bagian dari Hindia Belanda. Namun setelah Proklamasi, Indonesia telah berjuang untuk Papua dan Papua berjuang bersama Indonesia.
http://bintangpapua.com/opini/25542-poros-jogja-papua-dalam-dialog-
Sementara itu, di Biak, Frans Kasiepo menggagas berdirinya Partai Indonesia Merdeka (PIM) tahun 1946. Ia menggalang kekuatan di Biak guna menentang kehadiran Belanda di sana. Frans terlibat dalam Konferensi Malino tahun 1946 yang membicarakan mengenai pembentukan Republik Indonesia Serikat sebagai wakil dari Papua. Ia juga menolak dengan tegas pengangkatan dirinya menjadi anggota delegasi Belanda pada Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda. Sikap keras Frans membuat Belanda kemudian mengasingkannya ke tempat terpencil.
Silas Papare dan Frans Kaisiepo adalah perwakilan nasionalis yang sadar akan pentingnya kemerdekaan Indonesia bagi Papua. Kedua tokoh dan para pendukungnya berharap bersama Indonesia Papua akan terbebaskan dari kolonialisme dan imperialisme. Dengan menerima fakta bahwa Indonesia terdiri atas berbagai suku dan agama, Silas dan Frans telah mengajarkan nilai-nilai bhineka tunggal ika bagi orang Papua, tidak saja demi mengusir bangsa penjajah dari Tanah Papua, tetapi juga untuk membangun Papua yang semakin maju dan sejahtera.
Nasionalisme Indonesia telah mengubah cara berpikir kaum intelektual Papua di jaman itu. Sebagai satu bangsa, masyarakat Indonesia, termasuk Papua, tidak hanya mempunyai kesempatan yang sama untuk membangun Papua. Mereka juga berkesempatan menduduki posisi pemerintahan yang lebih tinggi, yang tidak didapatkan selama pemerintahan Belanda. [Kompasiana]
0 comments:
Post a Comment